Artikel Semasa


Al-Qur’an merekam sebuah jejak sejarah dari masing-masing kita, keturunan Adam (Bani Adam), tentang sebuah peristiwa di sebuah alam yang disebut oleh para ulama sebagai Alam Alastu atau Alam Persaksian:

وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). – Q.S. Al-A'raaf [7]: 172

Ayat ini adalah sebuah reportase penting tentang suatu masa ketika kita sungguh berhadap-hadapan dengan sosok Sang Raja Diraja Semesta itu. Saat itu diambil sebuah kesaksian terhadap tiap-tiap diri (nafs/jiwa), masing-masing kita: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Dan kita pun menjawab: "Betul, kami menjadi saksi."

"Saksi", atau "syuhada" dalam bahasa Arab, secara umum merujuk kepada pihak yang dihadirkan karena dianggap memiliki pengetahuan tentang suatu hal atau karena ia menyaksikan kejadian tertentu. Dalam hal ini, manusia dinisbatkan sebagai saksi Allah, Tuhan Semesta Alam.


Manusia adalah saksi yang disumpah untuk memberikan keterangan yang membenarkan-Nya. Manusialah yang akan angkat bicara atas setiap keraguan tentang keberadaan-Nya, tentang keesaan-Nya, tentang kebesaran-Nya, tentang ke-99 asma-Nya. Kita menjadi saksi atas itu. Karena bukankah kita telah berhadap-hadapan dengan Sang Maha Agung, bercakap-cakap dan menyaksikan-Nya?

Dalam konteks yang lain, syahid atau syuhada (bentuk jamak dari syahid) kerap diartikan sebagai orang yang mati syahid di medan perang—yang di dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai salah satu di antara orang-orang yang dianugerahi nikmat (Q.S. An-Nisaa’ [4]: 69) selain para Nabi, Shiddiqin, dan Shalihin.

Namun makna asali dari kata ini sebenarnya adalah "ia yang bersaksi" dan tidak ada kaitannya dengan sebuah peperangan. Syahid merupakan sebuah "gelar" orang-orang yang teguh berdiri dalam kesaksiannya, yang tidak selamanya sebagai martir dalam peperangan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Siapa yang berdoa kepada Allah dengan benar untuk mendapatkan mati syahid, maka Allah akan menyampaikannya kepada kedudukan para syuhada walaupun dia mati di atas tempat tidur" (H.R. Muslim). Juga, di hadits yang lain disebutkan,"Sebagian besar para syuhada dari umatku adalah mereka yang mati di tempat tidur" (H.R. Ibnu Mas’ud).

Oleh karena itu, ungkapan yang lebih tepat dalam menggambarkan arti syahid atau syuhada adalah ia yang memegang teguh kesaksian Allah atas penciptaan-Nya, kasih dan sayang-Nya, keagungan-Nya, penggelaran seluruh takdir dan asma-asma-Nya, fitrah-Nya. Ia menjadi tonggak kesaksian Tuhannya itu bahkan ketika hidup sampai di ujung maut sekalipun. Maka, barangkali dalam konteks inilah kita memahami sabda Rasulullah SAW bahwa "Orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang mati terkena wabah adalah syahid, dan seorang Ibu yang meninggal karena melahirkan anaknya adalah syahid, maka anaknya menariknya dengan tali pusar untuk masuk ke surga" (H.R. Ahmad).

Itulah prinsip dasar kebersaksian atas Allah Ta’ala, peran yang diemban tiap-tiap diri umat manusia.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

SYARI'AT HAKIKI Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Imej tema oleh richcano. Dikuasakan oleh Blogger.