Artikel Semasa


Apakah tugas atau misi yang diemban oleh kita manusia—sebuah peran yang tidak dinisbatkan kepada malaikat, jin atau makhluk-makhluk lainnya.

وَإِذْ قَالَ رَ‌بُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْ‌ضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” – Q.S. Al-Baqarah [2]: 30


Di ayat tersebut, Allah menyebutkan di hadapan para Malaikat-Nya tentang kepada siapa Dia embankan tugas atau misi kekhalifahan di muka bumi ini, yakni kepada Manusia.

Istilah khalifah di dalam bahasa Arab berarti "pemimpin", atau "wakil" atau "pengganti"—yakni ia yang mewakili atau menggantikan suatu otoritas kepemimpinan tertentu, seperti halnya duta besar yang mewakili kepala pemerintahan suatu negara di luar negeri. Maka di sini, sebagai contoh, kita mengenal Khulafaur-Rasyidin, yang mengandung kata khulafa (jamak dari kata khalifa), yakni mereka yang menggantikan atau mewakili Rasulullah SAW sepeninggal Beliau sebagai pemimpin umat Islam.


Maka,"khalifah di muka bumi" pada ayat tersebut mengandung arti "pemimpin atau wakil Allah di muka bumi". Makna ini secara khusus tersirat pula di dalam sebuah ayat yang lain:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْ‌ضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّـهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. – Q.S. Shaad [38]: 26


Mari kita renungkan baik-baik ayat yang sangat penting ini.
Mengapa Allah memerintahkan Nabi Daud a.s. agar "berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil" padahal bukankah Allah menyandang gelar Al-Hakim (salah satu dari 99 Asma al-Husna) dan Dia telah menyebut diri-Nya sebagai "yang memberi keputusan dan Hakim yang sebaik-baiknya"? (Q.S. Yunus [10]: 109). Jawabnya tentu, karena Allah telah "menjadikan khalifah"—dalam arti "mewakilkan suatu urusan" di muka bumi kepada manusia. Allah telah mewakilkan urusan kehakiman, urusan pemberian keputusan secara adil di kalangan Bani Israil kala itu kepada Nabi Daud a.s.



Maka demikianlah, ketika menjadikan khalifah di muka bumi itu, Allah mewakilkan atau mengamanahkan suatu urusan kepada wakil pengganti (khalifah) tersebut—dan itulah yang menjadi tugas atau misi spesifik yang diemban oleh seorang manusia sebagai khalifah.

Perhatikan bahwa tak hanya kepada Daud a.s., Allah pun menjadikan Musa a.s. sebagai khalifah bagi kaumnya di masa itu. Allah mewakilkan kepada tiap-tiap nabi masing-masing urusannya, termasuk kepada Rasulullah SAW sebagai manusia teragung, segel atau penutup kenabian (khatamun nabiyyin), dan uswatun hasanah, teladan terbaik bagi umat manusia.


Tiap-tiap diri kita adalah sebuah "instrumen" yang mewakili suatu urusan ('amr) yang spesifik—di sebuah ruang waktu tertentu, atau situasi tertentu—sebagai perwujudan rancangan Allah menjadikan para wakil-Nya di muka bumi ini. Maka, sebagaimana Allah telah mewakilkan aspek Al-Hakim kepada Daud a.s., kepada masing-masing diri kita pun Allah telah sematkan—dalam kadar tertentu—beberapa khazanah dari asma-asma-Nya itu, fitrah-Nya, untuk mendukung urusan kekhalifahan tersebut. "(Demikianlah) Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut Fitrah itu." (Q.S. Ar-Ruum [30]: 30), sebagaimana pula Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan citra-Nya." (H.R. Bukhari, Muslim)

Manusia
Tiap-tiap diri kita adalah sebuah "instrumen" yang mewakili suatu urusan ('amr) yang spesifik – di sebuah ruang waktu tertentu, atau situasi tertentu--sebagai perwujudan rancangan Allah menjadikan para wakil-Nya di muka bumi ini.
Maka tidakkah kita memiliki rasa itu, menyadari bahwa tiap-tiap diri kita memiliki kompetensi yang berbeda-beda, kekuatan dan kekurangan, bidang-bidang yang mudah dikuasai dan bidang-bidang yang sulit? Masing-masing kita disematkan suatu "konfigurasi" yang unik dari citra-Nya, dari asma-asma-Nya, yang mengindikasikan suatu urusan yang Allah hendak wakilkan kepada masing-masing kita demi memakmurkan Bumi ini.

وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا ۚ قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّـهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَـٰهٍ غَيْرُ‌هُ ۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْ‌ضِ وَاسْتَعْمَرَ‌كُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُ‌وهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ ۚ إِنَّ رَ‌بِّي قَرِ‌يبٌ مُّجِيبٌ

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” – Q.S. Huud [11]: 61
Maka, mari renungkan dalam-dalam tentang penciptaan manusia ini, penciptaan diri kita semua, para saksi Allah, yang berperan sebagai abdi-Nya, ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu dari Allah Ta’ala. Kita, yang dilengkapi sekian khazanah ilahiah yang disematkan ke dalam relung diri (nafs/jiwa) kita yang terdalam, sebagai wakil-Nya untuk sebuah urusan suci di muka bumi ini.




Tiada ulasan:

Catat Ulasan

SYARI'AT HAKIKI Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Imej tema oleh richcano. Dikuasakan oleh Blogger.