Artikel Semasa


Petunjuk lain di dalam Al-Qur’an yang bisa menuntun kita kepada indikasi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mendasar dan maha penting tentang eksistensi manusia.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56
Ini adalah ayat yang sangat populer dan sungguh dalam maknanya. Kata ya’buduun di akhir ayat tersebut memang tak jarang diterjemahkan sebagai "beribadah kepada-Ku", namun kata tersebut memiliki arti inti yang lebih fundamental, yakni "mengabdi kepada-Ku" atau "menjadi abdi-Ku": suatu indikasi tentang sebuah peran yang disematkan baik kepada penciptaan jin maupun manusia.



Ayat tersebut menginformasikan bahwa manusia adalah sesosok makhluk yang diciptakan untuk menjadi abdi, dan bukan sembarang abdi: ia mengemban tugas dan misi suci dari Allah Rabb Al-Alamin.

Kita dapat merasakan sebuah redaksi penunjukan langsung di ayat tersebut: Allah Ta’ala mengatakan "abdi-Ku", bukan "abdi Kami" atau abdi siapa-siapa—manusia, dalam ayat tadi adalah jelas “milik-Ku”. Manusia tidak membawa tugas kepelayanan tingkat dua atau tiga dari malaikat tertentu atau jin tertentu atau makhluk-makhluk lainnya.

Manusia mengemban tugas suci langsung dari Allah Ta’ala, Sang Raja Diraja Semesta itu sendiri. Bila diibaratkan, manusia adalah para ksatria Raja, pelayan raja atau menteri dan abdi negara yang bertanggung jawab langsung kepada pucuk pimpinan tertingginya.

Masing-masing dari kita semua membawa misi suci dari Allah Ta’ala, tak satu pun terkecuali. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa "Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya." (H.R. Bukhari)

Tapi pernahkah kita merenungkan barang sejenak, di manakah kini para abdi Allah yang mulia itu? Bila kita manusia, jajaran para ksatria itu, apakah kita telah "lupa kepada kejadiannya; dan (malah) berkata: 'Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?'" (Q.S. Yaasiin [36]: 78).

Apakah kita telah terjerumus ke dalam ke limbah nista dan nestapa, terbata-bata dalam kehidupan, lupa akan siapa dirinya dan tak tahu arah mana yang dituju? Adakah itu lantaran telah tertutup telinga, mata dan hati, hingga kita berperilaku "seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi?" (Q.S. Al-A’raaf [7]: 179).

Namun terlepas dari semua "pembangkangan" itu, kita faham satu hal: bahwa ada sesuatu yang agung pada penciptaan manusia, masing-masing kita. Manusia, pada hakikatnya, adalah para saksi Allah, saksi atas kemaha-agungan-Nya, yang menjadi abdi-Nya, pelayan-Nya, ksatria-Nya dalam mengemban suatu tugas atau misi suci tertentu dari Allah Ta’ala.


2 ulasan:

  1. Sila berikan pendapat atau pertanyaan anda...

    BalasPadam
  2. Abdi Allah itu harus diawali dg ikatan perjanjian kepada Allah, diangkat SBG utusan ,makanya Muhammad bin Abdillah.Muhammad yang tadinya sesat di didik Allah lewat IQRA

    BalasPadam

SYARI'AT HAKIKI Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Imej tema oleh richcano. Dikuasakan oleh Blogger.