Artikel Semasa

ZUHUD



ZUHUD

Aspek Ihsan dalam agama adalah satu aspek yang akhir-akhir ini kerap dikesampingkan di setiap pembahasan tentang Agama Islam dan ramai dari kalangan ustaz ustaz lebih menitik-beratkan pada terminologi "Iman-Islam", padahal "Ihsan" juga telah menjadi salah satu pilar besar yang tak terpisah dari ajaran Rasulullah SAW. 

Salah satu topik utama dalam Aspek Ihsan yang kerap menjadi perdebatan di banyak kalangan adalah tentang zuhud. Itu berlaku adalah disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang pengertian zuhud itu sendiri.

Sudah barang tentu dimensi zuhud ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena ia berpijak pada sebuah pedoman dasar seperti yang terungkap di begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an bahwa:

 _"Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal."_ 
(Q.S. Al-Mu’min [40]: 39) 

 _dan Allah memberi pahala yang besar kepada "orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat"_ 
(Q.S. An-Nissa [4]: 74) 

Ia bermaksud: mereka yang lebih mementingkan kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia. Inilah prinsip dasar dari ajaran tentang zuhud. Zuhud bukannya meninggalkan dunia.

Zuhud secara bahasa memang berarti "berpaling dari sesuatu" dan merupakan salah satu ajaran Rasulullah SAW seperti termaktub dalam sebuah hadits, _"Zuhud-lah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhud-lah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu."_ (H.R. Ibnu Majah)

Bagaimana mungkin seorang suami atau ayah melalaikan tugas kerumahtanggaannya sementara Allah telah berfirman "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)?

Namun, zuhud telah sering disalah ertikan sebagai corak kehidupan yang meninggalkan aspek-aspek duniawi dan mengenepikan urusan-urusan dunia.

Pemahaman ini tentu saja kurang tepat. Bagaimana mungkin seorang salik yang ber-zuhud meninggalkan urusan-urusan dunianya sedangkan ladang amal terbaik telah pun Allah sebarkan justru melalui kesulitan hidup di dunia?

Bagaimana mungkin seorang salik menjalani hidup kerohanian dan meremehkan kehidupan pernikahan yang—seperti dijelaskan oleh Rasulullah SAW—justru merupakan "separuh dari agama"?

Sudah semestinya , dalam mengarungi jalan pertaubatan, seorang salik haruslah berwaspada terhadap berbagai hal yang dapat melenakan dan melalaikannya dari mengingat Allah. 

Di satu sisi, Allah telah "menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya." (Q.S. Al-Mulk [67]: 15),

Namun di sisi lain, Allah juga memberi peringatan kepada para hamba-Nya tentang _"...kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu"_ (Q.S. Al-Hadiid [57]: 20) dan _"kesenangan yang memperdayakan"_ (Q.S. Al-Imran [3]: 185).

Maka tentulah pokok permasalahannya di sini adalah bagaimanakah caranya untuk bersikap yang tepat terhadap kehidupan dunia dalam berzuhud? 

Bagaimanakah mengambil "jarak" yang tepat terhadap apa yang dijalaninya ini? Yang tidak "anti-dunia" namun tidak juga tenggelam di dalamnya?

Bagaimana meletakkan dunia di tempat yang semestinya. Di sinilah, ikhtiar dalam zuhud yang sebenarnya....

Zuhud tidaklah dicapai dengan pergi ke gunung dan gua-gua demi menghindari masyarakat manusia dan meninggalkan hingar bingar duniawi. 

Zuhud adalah tidak mengisi hati/qalb-nya dengan kecintaan terhadap dunia. Zuhud adalah sebuah sikap hidup yang mengedepankan kehidupan akhirat sebagai tujuan yang jauh lebih hakiki dari kehidupan dunia yang sementara.

Oleh karena itu, menjadi Muslim yang paripurna bagi seorang salik adalah berjihad memperoleh "inti sari" dari ladang-ladang amal di dunia untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kehidupan di akhirat. 

Ia berjuang membanting tulang mencari nafkah—bukan demi profesion atau kedudukannya di mata manusia, melainkan kerana itu adalah perintah Allah terhadap keluarganya. 

Jika ia menjadi pemimpin, ia pun akan memimpin rakyatnya atau orang-orang yang dipimpinnya dengan rasa belas kasihan, keadilan, hikmah dan rasa takut akan Hari Pengadilan Akhir, bukan agar nantinya dikenang sebagai pemimpin yang berhasil atau yang dicintai rakyatnya, tapi semata karena itulah perintah Allah kepada setiap pemimpin.

Ber-zuhud adalah memahami bahwasanya dunia hanyalah sebuah jembatan yang mesti dilalui, sehingga tidak pada tempatnya bila membangun rumah-rumah kecintaan dunia di atas jembatan itu. 

Benarlah ungkapan Rasulullah SAW di dalam sebuah hadits, "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir" (H.R. Bukhari). 

Bukankah seorang musafir menganggap kota persinggahannya sekadar sebagai tempat sementara, dan ia sentiasa dalam sebuah safar (perjalanan), demi menempuh suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat?

Keredhaan Allah inilah yang akan senantiasa menjadi pusat tumpuan bagi kehidupan seorang salik di mana pun ia berada: 

di gerai nasi lemak atau di masjid, ketika bekerja mahupun dalam waktu ibadah, di kala berdiri maupun di saat sujud. 

Kesenangan hidup akan membuat hati seorang Muslim dipenuhi rasa syukur kepada-Nya sekaligus harapan akan perlindungan-Nya atas kesombongan dan ketidakpedulian terhadap sesama yang dapat menjerumuskannya ke lembah nista. Disebutkan nista kerana lawan sikap zuhud adalah sikap yang buruk.

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذا قِيلَ لَكُمُ انفِرُ‌وا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْ‌ضِ ۚ أَرَ‌ضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَ‌ةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَ‌ةِ إِلَّا قَلِيلٌ

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah di jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. – Q.S. At-Taubah [9]: 38

Sementara kesulitan dan ujian kehidupan yang dilalui  tidak akan membangkitkan keluh kesah karena ia tahu Sang Pemilik Hidup telah merancang "kurikulum" kehidupan dan jalan yang terbaik baginya, dan justru akan membuat hati seorang salik dipenuhi kekhusyu'an rasa harap akan ampunan dan pertolongan dari Dia Ta'ala.

"Zuhud adalah bilamana kita mencintai sesuatu yang dicintai oleh Khaaliq-mu dan kita membenci sesuatu yang dibenci oleh Khaaliq. Kita meninggalkan yang halal dari dunia sebagaimana kita meninggalkan yang haramnya, sebab yang halalnya pasti akan dihisab dan yang haramnya pasti akan mengundang azab.

Bilamana kita menyayangi kaum muslimin, sebagaimana kita menyayangi diri kita sendiri. Kita memelihara diri dari perkataan-perkataan yang tiada membawa manfaat, sebagaimana kita memelihara diri kita dari perkataan-perkataan yang haram. 

Bilamana kita memelihara diri dari banyak makan, sebagaimana kita memelihara diri kita dari memakan bangkai yang amat busuk.

Bilamana kita memelihara diri dari aneka macam kesenangan dunia dan perhiasannya, sebagaimana kita memelihara diri dari panasnya api. Dan apabila kita tidak panjang angan-angan di dunia, inilah arti zuhud yang sebenarnya".

Sebenarnya zuhud itu tak mungkin betul sekiranya tidak dijalankan diatas landasan TAUBAT.

By Syariat Hakiki

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

SYARI'AT HAKIKI Designed by Templateism | Blogger Templates Copyright © 2014

Imej tema oleh richcano. Dikuasakan oleh Blogger.